Tanggal 29 Apr 2025
Jam: 19:58:14
Total pengunjung: 295
1. Asal-usul
Asal mula wayang golek tidak diketahui
secara jelas karena tidak ada
keterangan lengkap, baik tertulis
maupun lisan. Kehadiran wayang golek
tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan
perkembangan dari wayang kulit. Namun
demikian, Salmun (1986) menyebutkan
bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan
Kudus membuat wayang dari kayu yang
kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari.
Sejalan dengan itu Ismunandar (1988)
menyebutkan bahwa pada awal abad
ke-16 Sunan Kudus membuat bangun
'wayang purwo' sejumlah 70 buah
dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya
dilakukan pada siang hari. Wayang ini
tidak memerlukan kelir. Bentuknya
menyerupai boneka yang terbuat dari
kayu (bukan dari kulit sebagaimana
halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai
wayang golek.
Pada mulanya yang dilakonkan dalam
wayang golek adalah ceritera panji dan
wayangnya disebut wayang golek
menak. Konon, wayang golek ini baru
ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit
Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai
wayang golek papak atau wayang cepak
karena bentuk kepalanya datar. Pada
zaman Pangeran Girilaya (1650-1662)
wayang cepak dilengkapi dengan cerita
yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon- lakon yang
dibawakan waktu itu berkisar pada
penyebaran agama Islam. Selanjutnya,
wayang golek dengan lakon Ramayana
dan Mahabarata (wayang golek purwa)
yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh
Dalem Karang Anyar (Wiranata
Koesoemah III) pada masa akhir
jabatannya. Waktu itu Dalem
memerintahkan Ki Darman (penyungging
wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat
wayang dari kayu. Bentuk wayang yang
dibuatnya semula berbentuk gepeng dan
berpola pada wayang kulit. Namun, pada
perkembangan selanjutnya, atas anjuran
Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh
berbeda dengan wayang golek sekarang.
Di daerah Priangan sendiri dikenal pada
awal abad ke-19. Perkenalan
masyarakat Sunda dengan wayang golek
dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan
daerah pantai dengan Priangan yang
bergunung-gunung. Semula wayang
golek di Priangan menggunakan bahasa
Jawa. Namun, setelah orang Sunda
pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.
2. Jenis-jenis Wayang Golek
Ada tiga jeniswayang golek, yaitu:
wayang golek cepak, wayang golek
purwa, dan wayang golek modern.
Wayang golek papak (cepak) terkenal di
Cirebon dengan ceritera babad dan legenda serta menggunakan bahasa
Cirebon. Wayang golek purwa adalah
wayang golek khusus membawakan
cerita Mahabharata dan Ramayana
dengan pengantar bahasa Sunda
sebagai. Sedangkan, wayang golek modern seperti wayang purwa (ceritanya
tentang Mahabarata dan Ramayana,
tetapi dalam pementasannya
menggunakan listrik untuk membuat
trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut
untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan
modern. Wayang golek modern dirintis
oleh R.U. Partasuanda dan
dikembangkan oleh Asep Sunandar
tahun 1970--1980.
3. Pembuatan
Wayang golek terbuat dari albasiah atau
lame. Cara pembuatannya adalah
dengan meraut dan mengukirnya, hingga
menyerupai bentuk yang diinginkan.
Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif di kepala wayang,
digunakan cat duko. Cat ini menjadikan
wayang tampak lebih cerah. Pewarnaan
wayang merupakan bagian penting
karena dapat menghasilkan berbagai
karakter tokoh. Adapun warna dasar yang biasa digunakan dalam wayang
ada empat yaitu: merah, putih, prada,
dan hitam.
4. Nilai Budaya
Wayang golek sebagai suatu kesenian
tidak hanya mengandung nilai estetika
semata, tetapi meliputi keseluruhan
nilai-nilai yang terdapat dalam
masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan
seniwati pedalangan yang mengemban
kode etik pedalangan. Kode etik
pedalangan tersebut dinamakan "Sapta
Sila Kehormatan Seniman Seniwati
Pedalangan Jawa Barat". Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan
hasil musyawarah para seniman seniwati
pedalangan pada tanggal 28 Februari
1964 di Bandung.
Isinya antara lain sebagai berikut:
Satu:
Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga nilainya.
Dua:
Mendidik masyarakat.
Itulah sebabnya diwajibkan memberi con-toh, baik dalam bentuk ucapan maupun
tingkah laku.
Tiga:
Juru penerang.
Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan atau membantu pemerintah
serta menyebarkan segala cita- cita
negara bangsanya kepada masyarakat.
Empat:
Sosial Indonesia.
Sebab itu diwajibkan mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala masalah. Lima:
Susilawan.
Diwajibkan menjaga etika di lingkungan masyarakat.
Enam:
Mempunyai kepribadian sendiri, maka
diwajibkan menjaga kepribadian sendiri
dan bangsa.
Tujuh:
Setiawan.
Maka diwajibkan tunduk dan taat, serta menghormati hukum Republik Indonesia,
demikian pula terhadap adat- istiadat
bangsa.
Yang online di web : ( 1 )
• Hari ini ( 2 )
• Minggu ini ( 4 )
• Bulan ini ( 8 )
• Pengunjung halaman ini : ( 295 )
• Total Pengunjung : "Hello ...!!! Your flag :
Cuaca di daerah anda :
Browser yang anda pakai : Mozilla/5.0 AppleWebKit/537.36 (KHTML, like Gecko; compatible; ClaudeBot/1.0; +claudebot@anthropic.com)